Oleh Muhary
“If we have no peace, it is because we have forgotten that we belong to each other”
(Bunda Theresa)
***
Empat hari lagi hawa panas di negeri Dou Mbojo ini akan berangsur-angsur hilang. Hawa panas dan suara-suara gaduh yang ditimbulkan pemilukada kali ini telah membuat kita gila, bingung dan sedih. Entah kenapa kita semua tiba-tiba menjadi aneh. Dalam berbahasa dan berkomunikasi, kita cenderung memilih kalimat kasar dan saling mencederai satu sama lain. Bahkan terhadap sahabat sendiri yang kebetulan berbeda pilihan, kita rela mengingkari persahabatan yang telah bertahun-tahun kita jalin bersama.
Kita seperti telah kehilangan akal sehat dan hati bening. Padahal persoalannya sederhana: silakan memilih, silakan berbeda, dan mari kita duduk minum kopi lagi. Tapi nyatanya tidak. Demi tokoh pilihan kita itu, yang sangat mungkin lupa membela kepentingan kita setelah ia terpilih, kita rela melakukan apa saja demi menunjukkan bahwa pilihan kitalah yang lebih baik.
Pelajaran dasar tentang demokrasi yang ditawarkan pemilu tak juga membuat kita dewasa dari tahun ke tahun. Setiap kali musim pemilu tiba, kita cenderung bersifat kekanak-kanakan. Alih-alih memetik hikmah di balik kalimat “perbedaan itu adalah rahmat”, kita malah terbiasa saling tuding dan hujat. Kita dirasuki semacam penyakit tendensius melitus dalam menganalisa atau menilai pendapat orang lain. Sebaliknya, kita akan mempertahankan mati-matian pilihan kita dengan argumen yang genit. Kita menjelek-jelekkan pilihan orang lain karena merasa pilihan kita adalah pemenangnya. Pertanyaannya, kita memenangkan apa bila kita hanya sanggup berkompetisi dengan cara-cara yang kotor?
Keadaan kian bertambah runyam karena media daring dan luring yang biasanya mengajarkan kepada kita diskursus bagaimana menjaga kewarasan berpikir, juga ikut-ikutan gila. Berita-berita yang ditampilkan sepertinya tidak perlu lagi mengandung unsur balance, check and re-check, atau cover both side. Kita menjadi muak dan hilang kesabaran melihat keadaan ini. Hampir semua media, terang-terangan memihak ke salah satu calon dan menapikan yang lain.
Jika kita percaya seperti apa yang diucapkan Bunda Theresa di atas, dan kita percaya kita bahwa sedang berdiri bersama, membuat sejarah penting bagi bangsa kita, maka kita akan bergandengan tangan, menahan diri agar tidak saling melukai. Kemenangan yang tak diiringi dengan cinta dan rasa hormat terhadap lawan bukanlah kemenangan melainkan kesewenang-wenangan. Tidak terkandung ajaran kebajikan sedikitpun di dalamnya. Kemenangan yang diperoleh dengan cara demikian hanya akan menimbulkan perulangan dendam dan sakit hati terus-menerus. Adapun kemenangan dan kekalahan yang direlakan atas nama cinta dan keselarasan, akan melahirkan masa kepemimpinan yang lebih panjang dan penuh kedamaian.
Empat hari lagi hawa panas di negeri ini akan berakhir. Empat hari lagi kita semua akan memillih pemimpin untuk masa lima tahun mendatang. Tapi siapapun yang menang, tinggallah jabatan semata. Nomor 1, nomor 2 atau nomor 3, kitalah sesungguhnya yang sedang mendidik mereka dengan cara memilih kita yang cerdas dan bijak.
Mari memilih. Mari bergembira.
***Tulisan ini pernah dimuat di Koran TEMPO. Kami modifikasi untuk Tambora Post atas seijin penulisnya.
894 total views, 2 views today